Seminar Nasional ITK Membahas Inovasi Energi

Seminar Nasional ITK Membahas Inovasi Energi
Seminar Nasional ITK Membahas Inovasi Energi.  Masalah listrik ibarat momok. Apalagi di Benua Etam, pemadaman listrik rasanya jadi barang biasa. Kenyataannya pasokan listrik belum merata di Tanah Air. Padahal potensi energi baru terbarukan (EBT) begitu besar. Masalahnya di mana?

Setiap tahun, jumlah kebutuhan listrik terus bertambah. Secara nasional, jumlah permintaan listrik sebesar 6,7 persen per tahunnya. Dari angka tersebut, setidaknya pemerintah harus membangun pembangkit listrik baru sebesar 30 ribu megawatt (MW).

Sementara di Kalimantan lebih tinggi, kebutuhan listrik hingga sembilan persen. Tingginya angka permintaan ini sayangnya tak sebanding pertumbuhan pembangkit yang hanya satu persen. Artinya pembangunan tidak mampu menyesuaikan kebutuhan.

Salah satu solusi permasalahan ini bisa dengan memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT). Guru Besar Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Mochamad Ashari menjelaskan, contoh energi baru seperti nuklir, coal slurry atau batu bara tercairkan, dan coal gasification atau batu bara tergaskan.

Sedangkan energi terbarukan seperti yang sudah banyak digunakan di Indonesia. Misalnya pembangkit listrik tenaga air (PLTA), PLTMH (mikro hidro), PLTS (tenaga surya), PLTP (panas bumi), dan PLTGL (gelombang laut), hingga PLTB (tenaga bayu).

Namun kenyataannya beragam jenis EBT ini belum dimanfaatkan dengan maksimal. Contohnya saja untuk kebutuhan listrik, hampir 60 persen masih menggunakan energi dari batu bara.

“Padahal potensi EBT sangat besar. Sayang pemanfaatannya masih kecil sekali, baru sekitar 15 persen yang digunakan,” imbuhnya saat menjadi pemateri dalam Seminar Nasional Ketahanan Energi di Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Karang Joang, Balikpapan Utara.

Pengembangan EBT
 
Ashari mengungkapkan, ada beragam cara untuk mengembangkan energi terbarukan. Dari yang paling sederhana sampai yang berdaya besar.

Hal termudah dan bisa digunakan sehari-hari yakni stand alone, contohnya seperti yang digunakan pada lampu taman dan lampu jalan.

“Ada panel surya, baterai, dan lampu LED. Sudah diperkenalkan sekitar 1990 di Jawa, daerah terpencil kami pasang solar cell system untuk menerangi wilayah sana,” tuturnya.

Lalu hybrid system, perpaduan antara solar cell dengan angin atau solar cell dengan air. Terakhir grid connected, terhubung antara solar cell dengan PLN.

Saat ini, Indonesia juga sudah membangun beberapa pembangkit listrik dengan EBT. Teranyar PLTB Sidrap di Sulawesi Selatan, terdapat pembangkit dengan bentuk kincir angin raksasa sebanyak 30 buah. Di mana, setiap pembangkit memiliki kapasitas 2,5 MW.

Total keseluruhan daya yang bisa dihasilkan PLTB Sidrap mencapai 75 MW. Semua pembangkit ini terhubung dengan PLN. Kabarnya dapat mengaliri listrik kepada 70 ribu pelanggan PLN di Sulsel.

Contoh lainnya, pendirian PLTS Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di sana terdapat panel surya raksasa dengan 22 ribu solar cell. Total daya yang dihasilkan sekitar 5 MW. Itu juga terhubung dengan PLN.
“Ini teknologi energi terbarukan terbaik yang sudah berjalan di Indonesia,” sebutnya.

Namun, kekurangan dari solar cell adalah peralatan yang mahal dan harus impor.
Menurutnya, masyarakat masih bisa berpartisipasi membangun negara dengan cara sederhana.

“Misalnya di wilayah kita banyak angin silakan bangun pembangkit. Sediakan generator dan hitung titik pasang. Paling tidak bisa untuk charger handphone dan penerangan lampu,” imbuhnya.

Potensi Panas Bumi
 
Dia menjelaskan, potensi EBT terbesar yang dimiliki Tanah Air adalah panas bumi atau geotermal. Bahkan Indonesia memiliki energi panas bumi terbesar di dunia.

Kisaran dayanya sebesar 29 MW dan baru digunakan hanya 5 persen. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Rektor ITK Sulistijono.

Menurutnya, geotermal sangat berlimpah di negara kepulauan ini. Namun baru termanfaatkan sekitar 6 persen. Padahal Indonesia memiliki geotermal terbesar di dunia.

“Kalau negara bisa riset dan fokus mengelola geotermal akan jadi unggulan. Keuntungannya geotermal ini termasuk yang memiliki risiko terendah dari berbagai pilihan EBT,” jelasnya.

Sebab, geotermal merupakan sumber daya alam yang tidak memproduksi sampah apapun. Keberadaannya juga mudah karena ada di alam dan tinggal memanfaatkan.

Hanya saja masalahnya untuk memanfaatkan energi alam ini menjadi energi listrik butuh biaya yang cukup mahal di awal pembangunan. Baik riset, eksplorasi, dan biaya modal pembangkit sangat besar.

“Awalnya pasti biaya tinggi karena harus ada riset dan lainnya. Tapi, setelah final dibuat secara massal, maka biaya nanti bisa sangat murah,” ujarnya.

Konservasi Energi
 
Dia menambahkan, bagaimanapun besarnya biaya untuk membangun pembangkit dari EBT, suatu saat pasti akan tetap dilaksanakan. Mengingat energi fosil pasti habis, mau tidak mau negara akan beralih ke EBT.

Dengan begitu, pemerintah harus membuat pembangkit listrik non-fosil. “Untuk sementara masyarakat dapat berkontribusi dengan menerapkan perilaku hemat energi,” ujarnya.

Misalnya hindari membuang energi sia-sia yang sekarang sudah menjadi kebiasaan. Menurutnya, budaya hidup atau perilaku masyarakat belum mencerminkan hemat energi.

“Pilih alat elektronik dengan daya rendah, setting AC dengan suhu rendah, matikan komputer dan alat listrik yang tidak digunakan. Mulai sekarang terapkan perilaku hemat energi,” imbuhnya.

Selain itu, inovasi hemat energi juga bisa dilakukan melalui teknologi. Pertama, penggunaan kaca transparan di gedung. Sehingga cahaya bisa masuk dan tidak perlu penerangan lebih.

Kemudian gedung dengan atap sel surya yang listriknya bisa digunakan untuk memasok energi listrik malam hari.

“Seperti di luar negeri sudah sering lorong apartemen dan rumah menggunakan sakelar countdown yang otomatis mematikan listrik sendiri saat tidak digunakan,” katanya.

Kemudian penggunaan lampu LED, kulkas dan AC inverter, dan mesin kendaraan mode idle.
Ada pula yang memanfaatkan sumber energi alam.

Misalnya tenaga kincir angin untuk lampu jalan, turbin air mikro dari aliran air selokan untuk penerangan lampu jalan seperti yang diterapkan Tiongkok.

“Kemudian di Jepang membangun jalan dengan permukaan sel surya, jadi jalan berfungsi sebagai generator. Kemudian ombak laut dan air lorong teluk yang bisa menggerakkan turbin,” tutupnya.

Comments

Popular posts from this blog

Yuk Lihat Tips Pilih Kepiting Segar dan Berdaging Tebal

Krisis Keuangan Global Menjadi Pintu Pembuka Bagi Donald Trump

Yuk Lihat! 3 Manfaat Dari Teh Hijau